Aku adalah aku…
Yang hanya bisa memandangmu dari sudut mataku…
Aku adalah aku…
Yang tak pernah bisa melepaskan bayangmu dari kepalaku…
Dua
tahun sudah. Selama itu juga aku menghitung luka. Perpisahan kita yang tak
seharusnya karena kisah yang seharusnya memang tak ada.
Aku
dan kamu. Dua orang yang pernah bergelar ‘sahabat’ akhirnya harus menyerah pada
satu kata yang bernama ‘rasa’. Entah siapa yang memulainya. Aku hanya bisa
merasakan degup jantung yang semakin cepat saat bertemu denganmu. Rasa rindu
yang memuai saat tak melihatmu. Tanpa kata, tanpa pernah ada seucap komitmen
diantara kita.
Hanya
ada sebuah kata sayang. “Aku sayang kamu”, katamu. Dan aku menanggapinya dengan
tertawa. Aku menganggapmu hanya bercanda. “Ah… itu hanya cinlok aja kok”,
kataku. “Bentar lagi juga hilang… “. “Hmmm… mungkin. Tapi pokoknya sekarang aku
sayang kamu”, katamu lagi. Aku hanya tersenyum, menganggap semuanya hanya
sebuah kisah kecil dalam hubungan kita.
Tapi
ternyata tidak. Semua berjalan apa adanya. Rasa sayang yang kurasa, bersemi
seiring dengan kedekatan kita. Sejalan dengan pandang mata yang mengungkap
rasa. Dan buatku, tidak hanya sebatas cinlok seperti yang terucap dari bibirku.
Rasaku nyata. Rasaku ada. Entah rasamu…
Aku
tak pernah berharap apa-apa dengan ‘rasa’ kita. Rasa yang memang tak seharusnya
ada. Aku cukup puas membaca pesanmu pada
inboxku, mendengarkan setiap ceritamu, merasakan sentuhanmu, merasakan kecupan
di jemariku, merasakan dekapmu di tubuhku, dan merasakan manisnya bibirmu
menyentuh bibirku. Aku bahagia menjadi bagian dalam tawamu. Aku terlena dengan
rasaku. Aku terbang dalam buaian rasamu. Aku
membiarkan rasa itu mengikatku, dalam dan semakin dalam. Melupakan semua resiko
yang menyertainya.
Dan
aku terjatuh. Jauh, dalam dan sakit. Saat tanpa kata, tanpa bicara kau
meninggalkanku dalam setiap tanya. Membiarkanku tertatih sendiri meraba jawab.
Aku tak menyalahkanmu. Walaupun aku pernah menghujatmu. Aku sadar, sangat
sadar. Kisah kita adalah kisah yang tak seharusnya ada. Aku dan kamu seharusnya
cukup hanya bergelar ‘sahabat’. Tak lebih, dan memang tak seharusnya lebih.
Aku
hanya tak rela menghadapi semua tanya dari hatiku. Semua rindu yang menyiksa
malam-malamku. Aku hanya ingin satu kata, satu masa dimana kita benar-benar
saling mencoba berdamai dengan rasa yang ada. Aku hanya mengharapkan perpisahan
yang dewasa, bukan hanya karena emosi semata. Seperti janji yang dulu pernah
terucap di antara kita. Saat semua ini harus berakhir, kita akan kembali
menjadi seperti biasa, sama seperti dulu. Kembali pada keadaan sebelum seuntai
rasa mengikat kita.
Tapi
kamu mengingkarinya. Kamu tak pernah menjadi ‘biasa’. Dan mungkin aku juga. Kamu
berubah menjadi seseorang yang tak pernah lagi sama. Mungkin kamu tak akan
pernah tahu, berapa banyak air mata yang kutumpahkan. Berapa banyak doa yang
kupanjatkan. Bukan apa-apa. Aku hanya tak rela kehilangan seorang sahabatku.
Tempat dimana selama ini aku bisa berkeluh kesah. Tempat dimana aku bisa
menyandarkan kepalaku sejenak disaat aku merasa lelah. Aku tak ingin kehilangan
kamu.
Tapi
doa dan tangisku tak berbalas. Doa dan tangis yang berdasar pada kesalahan
rasa. Kamu pergi, menjauh dan menjauh. Aku tak pernah mengerti apa inginmu. Aku
tak pernah tahu apa yang ada di hatimu. Kamu meninggalkanku sendiri dengan
sejuta tanya yang tak terjawab. Aku tertatih menata hati. Aku terseok
membungkus rasa. Aku terkapar menyembunyikan setiap duka.
Kamu
tak pernah lagi memandangku. Kamu selalu bersembunyi dalam diammu. Membiarkanku
terluka dan terlena dalam setiap pedihku. Seakan kamu tak peduli. Atau memang
kamu tak peduli? Kamu berlalu seperti angin. Meninggalkanku dalam
kepingan-kepingan hati yang porak poranda. Aku begitu iri dengan mereka yang
bisa dengan bebas berada disisimu. Bercanda dan berbagi cerita. Sedangkan aku,
tak pernah lagi berani untuk mendekat padamu. Aku tak berani lagi menatapmu.
Tenggelam dalam ketakutanku. Aku takut kamu melihat rasa itu di mataku. Aku
takut tak bisa menyembunyikan rasa itu saat memandangmu.
Seandainya
aku bisa pergi. Seandainya aku bisa berlari. Aku tak ingin melihatmu lagi. Tak
ingin tersiksa dengan rasaku saat aku tak lagi bisa menyentuhmu. Aku hanya bisa
memandangmu dari tempat persembunyianku. Tempat yang menyimpan banyak kenangan
kita. Lubang yang menyiksaku dengan bayangmu. Hanya 3 bulan aku mendekap rasa.
Sampai kusadari bahwa aku bukan siapa-siapa. Dan tak akan pernah menjadi
siapa-siapa untukmu.
Hari
demi hari, bulan demi bulan. Kujalani hari-hariku tanpa hadirmu lagi. Kubiarkan
rasa yang pernah ada menguar bersama debu, menghilang pelan dan perlahan. Aku
mulai bisa berdamai dengan hatiku. Aku mulai bisa menerima kenyataan bahwa kamu
tak lagi menjadi sahabatku. Tak lagi menjadi ‘rasaku’. Dan aku mulai melangkah,
bersama mereka yang disampingku.
Satu
demi satu, kulewati setiap masa. Satu demi satu, kulepas bayangmu dari
kepalaku. Aku mencoba melihatmu cukup hanya sebagai rekan kerjaku. Aku
bersyukur masih bisa mendengar gelak tawamu, melihat kekonyolanmu, dan sesekali
menimpali canda riangmu. Aku mencoba untuk membuat semuanya kembali menjadi
biasa saja, seperti dulu.
Dua
tahun sudah. Waktu yang sangat lama untuk melupakan bayangmu. Bukan hal yang
mudah untukku menghilangkan rasa saat setiap hari aku harus menatapmu. Dan
nyatanya aku memang tak bisa. Rasa itu masih saja ada, bersembunyi di satu
sudut hatiku. Menunggumu untuk memanggilnya kembali memenuhi benakku.
Sekali
lagi, aku tak pernah tahu apa yang ada dalam anganmu. Saat kamu datang kembali,
masuk ke ruang persembunyianku. Memintaku memelukmu. “Pelukan seorang sahabat”,
katamu. Saat kutanya, “Tumben…”, kamu hanya tersenyum menjawabnya. Dan aku
membiarkanmu memelukku. Merasakan lagi hangatnya dekapmu. Merasakan lagi desah
nafasmu di telingaku. Apa maumu sayang?
Kembali
lagi kurasakan degup jantung yang menggelepar saat kutangkap sorot mata yang
sama seperti dulu. Sorot mata yang menyisakan rasa. Kembali lagi kurasa rindu
yang dulu pernah mendayu. Kembali lagi ingin kurasa sentuhan dan kecupanmu.
Walau tetap tak pernah kutahu, apa arti hadirku di hidupmu.
Kamu
tetap sama seperti dulu. Datang dan pergi tanpa mau tahu dan mengerti rasaku. Membiarkan tanya yang sama membayang dan tak
terjawab. Seharusnya aku tak membiarkanmu memelukku lagi. Seharusnya aku tak
membiarkanmu meraih jemariku lagi untuk merasakan kecupmu. Seharusnya aku
menjaga bibirku dari manisnya kecupan bibirmu. Dan seharusnya aku menjaga
hatiku dari rasamu.
Sekali
lagi aku terlena. Sekali lagi aku terhempas ke dalam rasa yang sama. Rasa yang
pernah mengikatku. Rasa yang pernah membodohiku. Aku mengharapkan lebih. Aku
ingin merasakan hadirmu lagi.
Dan
akhirnya kamu meninggalkan lubang persembunyianku. Tak lagi datang membawa
setitik rasa yang selalu kutunggu. Walau terkadang masih kutangkap sebersit
rasa di matamu. Sekali lagi harus kurasakan luka dan pedih mengoyak hatiku.
Bodoh…bodoh…bodoh… Aku terpersorok lagi di tempat yang sama.
Dua
minggu. Hanya selama itu kamu ada. Dan itu waktu cukup untuk menyadari
kebodohanku lagi. Untuk menyadari bahwa dari dulu aku bukan siapa-siapa. Dan
sampai kapanpun tak akan pernah menjadi siapa-siapa untukmu.
Apa
maumu sayang? Aku tak pernah bisa menduga dan menebak inginmu. Sejuta amarah dan
kecewa merobek hatiku. Apa aku hanya sebuah obyek untukmu? Tempatmu datang dan
pergi sesuka hatimu? Tempatmu berlari saat tak kautemukan rasa dengan teman
hidupmu? Atau suatu uji coba akan hatiku? Untuk tahu apakah pesonamu masih bisa
menggetarkanku?
Aku
tak pernah berharap lebih darimu. Aku tau, aku dan kamu tak akan pernah bisa
berubah menjadi ‘kita’. Ada orang lain yang lebih berhak menggenggam tangan dan
hati kita. Semu… semuanya semu…
Aku
hanya ingin kamu tahu, semua kulakukan karena rasaku. Rasa yang masih tersimpan
untukmu. Rasa yang entah kapan akan beranjak pergi dari hatiku. Rasa yang
membuatku mampu berkata “dulu aku menyayangimu, dan kini ternyata aku masih
menyayangimu”. Aku akan kembali ke lubang persembunyianku. Kembali mengakrabi
semua kenangan kita, sendiri. Kenangan yang selamanya akan menjadi kenangan. Semoga
kamu mengerti, sayang…
Make me blind…
So, I won’t try to find you with my eyes…
Make me deaf…
So, I won’t try to hear your voice with my ears…
Untuk seseorang yang
menjadi rasa rahasiaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar