Senin, 17 Maret 2014

Menikmati Rasa




Aku hanya menikmati rasa yang ada
Tanpa berharap banyak
Hanya menunggu dan menanti
Apa yang direncanakan-Nya

Saat membaca sepenggal puisi itu, aku terbayang sosokmu. Sosok yang begitu kurindu. Hfftt… rasa ini terasa begitu menyesakkan dada. Aku sampai pada fase diam. Aku mencoba menikmati setiap rasa yang ada. Rasaku padamu. Walau aku tahu pasti, rasamu bukan untukku.
Aneh rasanya saat kamu masuk ke tempat persembunyianku dan bercerita tentang dia. Seseorang di masa lalumu. Yang mengembalikan kenangan pada cinta pertamamu. Cerita yang cukup membuatku merasa ‘galau’. Seperti kegalauanmu.
“Kenapa sih kok kayaknya akhir-akhir ini galau terus kelihatannya”, tanyaku.
“Emmm… ga pa pa kok. Biasalah… bingung mikirin duit.. he..he..”, jawabmu, penuh canda, seperti biasa.
“Eh… kamu pernah ga”, tanyamu. “Pernah apa?”
“Emm… ternyata bener ya… cinta pertama itu ga pernah mati”, katamu  lagi.
“Kok bisa?”, tanyaku.
“Iya… kemaren aku ketemu ma mantan pacarku. Cinta pertamaku waktu SMP dulu”, kamu mulai bercerita.
“Trus…”.
“Ga tau ya… rasanya semua kenangan dengan dia tuh membangkitkan perasaan yang dulu pernah ada di antara kami”, lanjutmu.
Hffttt…. Rasanya jantungku mau melompat keluar mendengar ceritamu. Duuuhhh… kenapa harus cerita ke aku sih. Tidakkah kamu tahu rasaku, sayang?
“Kok bisa ketemu?”, tanyaku.
“Hmm… pokoknya pertemuan yang tak di sangka dan tak terduga… “, jawabmu.
“Ooo… itu penyebab kegalauan beberapa hari ini?”
“Iya sih… aku cuma merasa bingung dengan perasaanku. Aku tahu, aku harus bisa mengendalikan rasaku. Duuhh… “, keluhmu.
Hatiku mulai meronta. Ternyata benar, rasa itu bukan untukku lagi.
“Nikmati aja”, kataku. “Gimana caranya?” tanyamu heran.
“Ya nikmati aja, rasakan setiap rasa. Biarkan dia mengisi hati. Entah mau dibawa kemana. Kalau bahagia, rasakan bahagianya. Kalau sakit, rasakan sakitnya”, jawabku. Jawab yang seharusnya kutujukan pada hatiku yang menggelepar tak berdaya. Jawab yang ingin kuteriakkan padamu... "Itu rasaku sayang!!!". Jawab yang hanya terucap dalam hatiku, yang tak mampu terucap dari bibirku.
Kamu mengangguk dan mengakhiri ceritamu. Hanya sampai disitu. Habis, titik. Seperti rasamu padaku. Aku mencoba mendengarkanmu, sebagai seorang sahabat. Walau jujur aku masih belum bisa mengembalikan rasa hanya sebagai sahabatmu. Ahh… sayang… Tak tahukah kamu? Terasa begitu gamang dan aneh. Aku bergumul dengan hatiku. Aku mencoba menerima kenyataan bahwa rasamu memang bukan untukku. Ingin menangis, tapi apa yang kutangisi? Semua terjawab sudah. Sudah tak ada lagi aku.
Kamu tak pernah datang lagi. Kamu membiarkanku menunggumu di tempat persembunyianku. Menunggu dengan asa yang sia-sia. Hanya terkadang kita berbincang. Hanya terkadang kita saling menatap. Hanya terkadang kutangkap sebias cahaya. Walau tak pernah ku berani berpikir cahaya itu masih untukku.
Tak pernah ada yang tahu kedekatan kita. Tak pernah ada yang curiga seperti apa kisah kita. Tak pernah ada yang bertanya saat kita berbagi secangkir kopi atau sepotong kue. Semua dianggap wajar. Tapi sangat berarti untukku. Hhhffttt…. Aku merindukan saat-saat itu, sayang.
Sama seperti yang kukatakan padamu. Aku kembali mencoba menikmati rasa. Membiarkannya kemana hati membawa. Membiarkan setiap kisah mengalir bersama asa. Menikmati setiap rindu yang terukir… untukmu…


Miss u much... wish u know it...

Menatapmu di Tempat Persembunyianku



Invisible time?
It’s not work…

Hari ini aku mencoba sembunyi. Sembunyi dari kilas sosokmu. But, it’s not work. Aku menyiapkan hati untuk tidak menatapmu lagi. Aku menebalkan asa untuk menghapus bayangmu lagi.
Tapi.. ternyata tempat persembunyianku tak lagi cukup aman untuk hatiku. Kamu datang lagi. Tanpa membawa rasa. Hanya karena kebutuhan akan suatu profesionalitas kerja. Tak ada orang lain di antara kita. Hanya ada kamu. Hanya ada aku. Tapi sudah tak kutemukan lagi rasa yang terpancar di matamu beberapa hari yang lalu. Lupakah kamu sayang?
Ingin kubelai wajahmu. Wajah yang terpapar bulu-bulu kasar yang menggelikan kulitku. Ahh… aku merindukanmu. Merindukan setiap detik kedekatan kita. Aku ingin memelukmu dan mengatakan rasaku. Tapi… aku hanyalah aku. Seseorang yang hanya bisa memandangmu, tanpa mampu merengkuhmu.
Aku membiarkan rasaku kembali berlalu. Mencoba menerima untuk cukup puas dengan sedikit sentuhanmu. Cukup puas melihatmu ada di ruang persembunyianku. Tanpa bisa menyentuhmu. Tanpa bisa mengungkapkan rasaku. Cukup senang bisa membantumu menyelesaikan tugas-tugasmu. Walau mungkin itu tak berarti apa-apa untukmu.
Tahukah kamu sayang? Betapa berat melihatmu ada di dekatku. Tanpa rasa itu terpapar di matamu. Sebentar saja ingin kulihat lagi sependar cahaya ada disana. Tapi semua hanya tinggal anganku semata. Aku harus bangun dari mimpi dan kembali ke dunia nyata. Dunia dimana tak ada rasamu di sana.
Time to close the story. Aku menguatkan hati untuk tidak memikirkanmu lagi. Membuang semua kenangan yang pernah ada di antara kita. Menganggap semua tidak pernah ada. Ahh… sanggupkah aku? Aku ragu sayang. Bahkan saat aku sudah bisa tertawa lepas masih saja ada secuil asa untukmu. Masih saja mengharapkan hadirmu. Masih saja melukis bayangmu dalam benakku.
Tak cukup waktu untuk melupakanmu. Tak cukup masa untuk tidak melihat sosokmu. Hanya berusaha terlihat ‘bisa’ saat berada di dekatmu. Berusaha menyembunyikan rasa agar tak terlihat dimataku saat menatapmu.
Mungkin kamu menganggapku sebagai sosok yang tegar, kuat dan bisa menerima semuanya. Kamu tak pernah tahu betapa sakitnya aku. Kamu tak pernah tahu aku terseok mencari kekuatan untuk melupakanmu. Terkadang merasa begitu bodoh. Membiarkanmu datang dan pergi memasuki hatiku. Memporak-porandakan anganku.
Sekali lagi, aku hanyalah aku. Seseorang yang begitu bodoh, yang masih saja mencari bayangmu. Aku akan mencoba menikmati semuanya sayang. Walau tertatih, walau harus meraba dalam gelapnya rasamu. Kan kubiarkan semua terbang bersama awan. Kamu dan rasamu…


Not just a time to invisible…
It’s a time to leave…
Leaving you…  And all the memories about you…


for someone who make me feel so stupid in love

Selasa, 04 Maret 2014

Aku Melihatmu... Hari Ini...



Time to invisible… again…
Start from tomorrow…
Back to my hole…
Without you…

Kucoba menata hati. Kucoba memudarkan bayangmu dari kepalaku. Mencoba menikmati setiap rasa yang ada. Rindu, sakit, perih… Semua berkumpul memenuhi anganku. Aku tak ingin melihatmu. Tapi aku melihatmu lagi… hari ini…
Aku melihatmu pagi ini. Keluar dari gereja, berjalan bersama seseorang disisimu. Pertemuan yang tak kuinginkan. Berdesir hatiku saat melihatmu. Walau hanya bayang punggungmu yang tertangkap mataku. Tidak… Aku tak pernah cemburu padanya. Aku sadar bahwa memang itulah hidup kita yang sebenarnya. Kisah yang tak akan bisa berubah selamanya.
Hari ini aku berdoa. Hari ini aku kembali berpasrah. Menyerahkan semua rasa di hatiku kepadaNya. Berharap Dia mengambilnya kembali dari hatiku. Rasa yang memang seharusnya tak ada. Ah… Aku naif kan? Berharap untuk bisa walaupun aku masih mengharapkanmu. Damn… how stupid I am. Tak semudah berkata. Tak semudah hanya mengucap doa. Desiran hatiku yang menjawabnya.
Aku mencarimu dengan sudut mataku. Aku memasang telingaku untuk mendengar suaramu. Dan aku melihatmu. Berhenti di sebuah tempat yang sama denganku. Aku tahu, kamu melihatku. Kucoba untuk bersikap biasa. Terlebih banyak relasi yang ada di sekitar kita. Berbincang dengan 'seseorang'mu. Mungkin tak ada yang aneh di mata semua orang. Tapi tetap saja terasa janggal di hatiku.
Aku mencoba menatapmu. Mencari sebuah rasa di matamu. Dan aku tak menemukannya lagi. Baru 3 hari yang lalu kamu memelukku, menggenggam tanganku dan mengecup bibirku. Apakah cukup sampai disini sayang? Ataukah karena banyak mata yang ada di sekitar kita?
Aku tak berani bertanya. Aku tak punya hak untuk bertanya. Tetap saja, semua berjalan apa adanya. Tanpa kata, tanpa komitmen. Dan kali ini, tanpa kata ‘sayang’. Apa yang harus aku minta darimu? Perhatianmu, rasa sayangmu? Itu terlalu mewah untukku. Aku hanya bisa berharap. Aku hanya bisa merindu. Aku hanya bisa berdoa bahwa kamu tidak sejahat dan setega itu padaku. Aku hanya bisa bermimpi bahwa rasamu sama dengan rasaku.
Hari ini aku memimpikanmu lagi. Mendekapku hangat dalam pelukmu. Merasakan manisnya kecupan bibirmu. Aku tak ingin terbangun dari tidurku. Aku ingin terus merasakan hadirmu. Hfftt… aku tahu, aku merindukanmu. Walau ku tahu mungkin kamu tak pernah merindukanku. Entahlah sayang… mungkin mimpi itu akan hanya tinggal mimpi. Mimpi yang terbawa dalam tidurku.
Tak lagi kubiarkan air mata membasahi pipiku hari ini. Aku mencoba menerima kenyataan bahwa kamu adalah semu. Kamu adalah rasa yang tak nyata. Yang hanya bisa kugapai dalam angan-angan. Sekali lagi… aku tak pernah menyalahkanmu. Aku menyalahkan hatiku yang masih saja merindumu. Terhanyut dalam pesona indahmu.
Kamu adalah kamu. Seseorang yang bersinar terang di antara sekian banyak sosok disekitarku. Seseorang yang diberkati Tuhan dengan banyak talenta yang mengagumkan. Sementara aku. Aku hanya seorang perempuan penyendiri, cuek dan tidak seindah perempuan lain yang ada di sekitarmu. Dan aku hanyalah aku.
Kenapa aku sayang? Kenapa aku yang terpilih untuk kau lukai? Kenapa aku yang ‘terberkati’ merasakan manis dan pahitnya rasamu?
Aku tak pernah mencoba memikatmu. Aku tak pernah mencoba mendekatimu. Dari dulu aku mengagumimu, mengagumi sosokmu, mengagumi talentamu. Aku tak pernah berharap kamu melihatku. Aku sadar siapa diriku. Aku sadar dimana posisiku. Aku sadar betapa dalam jurang yang ada di depanku.
Aku melihatmu hari ini. Masih dengan rasaku. Masih mengharap suatu keajaiban yang akan terjadi besok. Menantimu di tempat persembunyianku. Mengharap hadirmu untuk melepas rinduku. Ah… aku tau. Itu hanya aku sayang, dan bukan kamu. Itu hanya rasaku, dan bukan rasamu.
Sekali lagi aku harus menyerah. Karena mungkin memang saatnya untuk menyerah. Mencoba lagi untuk berdamai dengan rasaku, berdamai dengan hatiku. Jangan datang lagi sayang. Cukup dua kali aku bergumul dengan rasaku. Rasa yang berakhir sama. Rasa yang meninggalkan luka. Rasaku…  untukmu…



Semu adalah kamu…
Nyata adalah rasaku…

  
untuk penghuni kenangan di tempat persembunyianku

Senin, 03 Maret 2014

Aku dan Rasaku...



Aku adalah aku…
Yang hanya bisa memandangmu dari sudut mataku…
Aku adalah aku…
Yang tak pernah bisa melepaskan bayangmu dari kepalaku…

Dua tahun sudah. Selama itu juga aku menghitung luka. Perpisahan kita yang tak seharusnya karena kisah yang seharusnya memang tak ada.
Aku dan kamu. Dua orang yang pernah bergelar ‘sahabat’ akhirnya harus menyerah pada satu kata yang bernama ‘rasa’. Entah siapa yang memulainya. Aku hanya bisa merasakan degup jantung yang semakin cepat saat bertemu denganmu. Rasa rindu yang memuai saat tak melihatmu. Tanpa kata, tanpa pernah ada seucap komitmen diantara kita.
Hanya ada sebuah kata sayang. “Aku sayang kamu”, katamu. Dan aku menanggapinya dengan tertawa. Aku menganggapmu hanya bercanda. “Ah… itu hanya cinlok aja kok”, kataku. “Bentar lagi juga hilang… “. “Hmmm… mungkin. Tapi pokoknya sekarang aku sayang kamu”, katamu lagi. Aku hanya tersenyum, menganggap semuanya hanya sebuah kisah kecil dalam hubungan kita.
Tapi ternyata tidak. Semua berjalan apa adanya. Rasa sayang yang kurasa, bersemi seiring dengan kedekatan kita. Sejalan dengan pandang mata yang mengungkap rasa. Dan buatku, tidak hanya sebatas cinlok seperti yang terucap dari bibirku. Rasaku nyata. Rasaku ada. Entah rasamu…
Aku tak pernah berharap apa-apa dengan ‘rasa’ kita. Rasa yang memang tak seharusnya ada.  Aku cukup puas membaca pesanmu pada inboxku, mendengarkan setiap ceritamu, merasakan sentuhanmu, merasakan kecupan di jemariku, merasakan dekapmu di tubuhku, dan merasakan manisnya bibirmu menyentuh bibirku. Aku bahagia menjadi bagian dalam tawamu. Aku terlena dengan rasaku. Aku terbang dalam buaian rasamu. Aku membiarkan rasa itu mengikatku, dalam dan semakin dalam. Melupakan semua resiko yang menyertainya. 
Dan aku terjatuh. Jauh, dalam dan sakit. Saat tanpa kata, tanpa bicara kau meninggalkanku dalam setiap tanya. Membiarkanku tertatih sendiri meraba jawab. Aku tak menyalahkanmu. Walaupun aku pernah menghujatmu. Aku sadar, sangat sadar. Kisah kita adalah kisah yang tak seharusnya ada. Aku dan kamu seharusnya cukup hanya bergelar ‘sahabat’. Tak lebih, dan memang tak seharusnya lebih.
Aku hanya tak rela menghadapi semua tanya dari hatiku. Semua rindu yang menyiksa malam-malamku. Aku hanya ingin satu kata, satu masa dimana kita benar-benar saling mencoba berdamai dengan rasa yang ada. Aku hanya mengharapkan perpisahan yang dewasa, bukan hanya karena emosi semata. Seperti janji yang dulu pernah terucap di antara kita. Saat semua ini harus berakhir, kita akan kembali menjadi seperti biasa, sama seperti dulu. Kembali pada keadaan sebelum seuntai rasa mengikat kita.
Tapi kamu mengingkarinya. Kamu tak pernah menjadi ‘biasa’. Dan mungkin aku juga. Kamu berubah menjadi seseorang yang tak pernah lagi sama. Mungkin kamu tak akan pernah tahu, berapa banyak air mata yang kutumpahkan. Berapa banyak doa yang kupanjatkan. Bukan apa-apa. Aku hanya tak rela kehilangan seorang sahabatku. Tempat dimana selama ini aku bisa berkeluh kesah. Tempat dimana aku bisa menyandarkan kepalaku sejenak disaat aku merasa lelah. Aku tak ingin kehilangan kamu.
Tapi doa dan tangisku tak berbalas. Doa dan tangis yang berdasar pada kesalahan rasa. Kamu pergi, menjauh dan menjauh. Aku tak pernah mengerti apa inginmu. Aku tak pernah tahu apa yang ada di hatimu. Kamu meninggalkanku sendiri dengan sejuta tanya yang tak terjawab. Aku tertatih menata hati. Aku terseok membungkus rasa. Aku terkapar menyembunyikan setiap duka.
Kamu tak pernah lagi memandangku. Kamu selalu bersembunyi dalam diammu. Membiarkanku terluka dan terlena dalam setiap pedihku. Seakan kamu tak peduli. Atau memang kamu tak peduli? Kamu berlalu seperti angin. Meninggalkanku dalam kepingan-kepingan hati yang porak poranda. Aku begitu iri dengan mereka yang bisa dengan bebas berada disisimu. Bercanda dan berbagi cerita. Sedangkan aku, tak pernah lagi berani untuk mendekat padamu. Aku tak berani lagi menatapmu. Tenggelam dalam ketakutanku. Aku takut kamu melihat rasa itu di mataku. Aku takut tak bisa menyembunyikan rasa itu saat memandangmu.
Seandainya aku bisa pergi. Seandainya aku bisa berlari. Aku tak ingin melihatmu lagi. Tak ingin tersiksa dengan rasaku saat aku tak lagi bisa menyentuhmu. Aku hanya bisa memandangmu dari tempat persembunyianku. Tempat yang menyimpan banyak kenangan kita. Lubang yang menyiksaku dengan bayangmu. Hanya 3 bulan aku mendekap rasa. Sampai kusadari bahwa aku bukan siapa-siapa. Dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa untukmu.
Hari demi hari, bulan demi bulan. Kujalani hari-hariku tanpa hadirmu lagi. Kubiarkan rasa yang pernah ada menguar bersama debu, menghilang pelan dan perlahan. Aku mulai bisa berdamai dengan hatiku. Aku mulai bisa menerima kenyataan bahwa kamu tak lagi menjadi sahabatku. Tak lagi menjadi ‘rasaku’. Dan aku mulai melangkah, bersama mereka yang disampingku.
Satu demi satu, kulewati setiap masa. Satu demi satu, kulepas bayangmu dari kepalaku. Aku mencoba melihatmu cukup hanya sebagai rekan kerjaku. Aku bersyukur masih bisa mendengar gelak tawamu, melihat kekonyolanmu, dan sesekali menimpali canda riangmu. Aku mencoba untuk membuat semuanya kembali menjadi biasa saja, seperti dulu.
Dua tahun sudah. Waktu yang sangat lama untuk melupakan bayangmu. Bukan hal yang mudah untukku menghilangkan rasa saat setiap hari aku harus menatapmu. Dan nyatanya aku memang tak bisa. Rasa itu masih saja ada, bersembunyi di satu sudut hatiku. Menunggumu untuk memanggilnya kembali memenuhi benakku.
Sekali lagi, aku tak pernah tahu apa yang ada dalam anganmu. Saat kamu datang kembali, masuk ke ruang persembunyianku. Memintaku memelukmu. “Pelukan seorang sahabat”, katamu. Saat kutanya, “Tumben…”, kamu hanya tersenyum menjawabnya. Dan aku membiarkanmu memelukku. Merasakan lagi hangatnya dekapmu. Merasakan lagi desah nafasmu di telingaku. Apa maumu sayang?
Kembali lagi kurasakan degup jantung yang menggelepar saat kutangkap sorot mata yang sama seperti dulu. Sorot mata yang menyisakan rasa. Kembali lagi kurasa rindu yang dulu pernah mendayu. Kembali lagi ingin kurasa sentuhan dan kecupanmu. Walau tetap tak pernah kutahu, apa arti hadirku di hidupmu.
Kamu tetap sama seperti dulu. Datang dan pergi tanpa mau tahu dan mengerti rasaku.  Membiarkan tanya yang sama membayang dan tak terjawab. Seharusnya aku tak membiarkanmu memelukku lagi. Seharusnya aku tak membiarkanmu meraih jemariku lagi untuk merasakan kecupmu. Seharusnya aku menjaga bibirku dari manisnya kecupan bibirmu. Dan seharusnya aku menjaga hatiku dari rasamu.
Sekali lagi aku terlena. Sekali lagi aku terhempas ke dalam rasa yang sama. Rasa yang pernah mengikatku. Rasa yang pernah membodohiku. Aku mengharapkan lebih. Aku ingin merasakan hadirmu lagi.
Dan akhirnya kamu meninggalkan lubang persembunyianku. Tak lagi datang membawa setitik rasa yang selalu kutunggu. Walau terkadang masih kutangkap sebersit rasa di matamu. Sekali lagi harus kurasakan luka dan pedih mengoyak hatiku. Bodoh…bodoh…bodoh… Aku terpersorok lagi di tempat yang sama.
Dua minggu. Hanya selama itu kamu ada. Dan itu waktu cukup untuk menyadari kebodohanku lagi. Untuk menyadari bahwa dari dulu aku bukan siapa-siapa. Dan sampai kapanpun tak akan pernah menjadi siapa-siapa untukmu.
Apa maumu sayang? Aku tak pernah bisa menduga dan menebak inginmu. Sejuta amarah dan kecewa merobek hatiku. Apa aku hanya sebuah obyek untukmu? Tempatmu datang dan pergi sesuka hatimu? Tempatmu berlari saat tak kautemukan rasa dengan teman hidupmu? Atau suatu uji coba akan hatiku? Untuk tahu apakah pesonamu masih bisa menggetarkanku?
Aku tak pernah berharap lebih darimu. Aku tau, aku dan kamu tak akan pernah bisa berubah menjadi ‘kita’. Ada orang lain yang lebih berhak menggenggam tangan dan hati kita. Semu… semuanya semu…
Aku hanya ingin kamu tahu, semua kulakukan karena rasaku. Rasa yang masih tersimpan untukmu. Rasa yang entah kapan akan beranjak pergi dari hatiku. Rasa yang membuatku mampu berkata “dulu aku menyayangimu, dan kini ternyata aku masih menyayangimu”. Aku akan kembali ke lubang persembunyianku. Kembali mengakrabi semua kenangan kita, sendiri. Kenangan yang selamanya akan menjadi kenangan. Semoga kamu mengerti, sayang…


Make me blind…
So, I won’t try to find you with my eyes…
Make me deaf…
So, I won’t try to hear your voice with my ears…

 Untuk seseorang yang menjadi rasa rahasiaku